Rabu, 29 April 2009

KEHADIRAN INDUSTRI BAGI MASYARAKAT HARJA MEKAR

Kehadiran industri (pe-te) bagi masyarakat sekitar merupakan berkah yang tak bisa dipungkiri. Mengapa demikian?, karena dengan beroperasinya berbagai industri, masyarakat bisa berekspresi mengais rejeki lewat rumah-rumah usaha (kontrakan), bahkan bagi kalangan pengusaha tidak hanya kontrakan dalam skala kecil, tapi justru melebarkan sayap usahanya ke jenis property perumahan mulai dari type sederhana, sedang bahkan perumahan elit lengkap dengan fasilitas yang serba ada, membuka usaha warung, menyediakan jasa pelayanan seperti ojeg, antar jemput karyawan, catering karyawan, perbengkelan, dan yang lebih menjanjikan adalah usaha limbah industri, pembukaan lapangan kerja, dan lain sebagainya.
Tempo doeloe semasa saya masih kecil dan belum ada pe-te, yang namanya warung jaraknya cukup jauh apalagi pasar, jadi kalau ingin membeli keperluan sembako, saya harus berjalan cukup jauh dan terkadang apa yang saya cari sesuai dengan instruksi orang tua tidak ditemukan, terpaksa saya harus mencari warung yang lebih lengkap lagi. Masalahnya adalah kalau di siang hari mungkin tidak menjadi kendala besar, akan tetapi kalau instruksinya malam hari, sungguh sangat menyulitkan sekali, sebab di samping penerangan yang sederhana bahkan nyaris tidak ada, juga suasana kampung yang cukup menyeramkan dan jalan-jalan masih sepi. Kendaraan yang lalu lalang tidak banyak. Artinya geliat ekonomi di kampung saya masih sangat ketinggalan dan berjalan lambat dibandingkan dengan daerah-daerah lain terutama yang dekat dengan pusat perbelanjaan. Tapi alhamdulillah seiring dengan perubahan waktu, kondisi lingkungan kampung saya telah berubah 180 derajat terutama dengan adanya industri ini dan Pemerintah Kabupaten Bekasi telah terbentuk, maka semakin dekat dan mudah bagi masyarakat berurusan dengan yang namanya penggawe kabupaten. Hal ini semakin melengkapi perobahan yang terjadi di kampung saya.
Mungkin para leluhur saya tidak meyangka sama sekali keadaan kampungnya bisa berubah 180 derajat, karena pada umumnya desain kampung mereka tempo doeloe bercorak agraris, sedangkan kini sudah era industri yang dimotori oleh kelompok bisnis yang bernama: JABABEKA, saya tidak tahu akronim dari kata itu, yang saya ketahui ribuan pe-te yang beroperasi di kawasan saya, pusat kendalinya adalah akronim di atas.
Alkisah, menurut cerita dari orang-orang tua pelaku sejarah kampung saya yang sampai kini masih tersisa dan sangat perlu untuk diawetkan spesiesnya (karena termasuk barang langka), katanya bahwa, doeloe JABABEKA membeli tanah-tanah mereka sangat murah, baik tanah darat maupun sawah, sebab rata-rata dibeli cuma sebesar Rp. 1.500 ? 2.500 permeter , dari sekian puluh ribu hektar yang dibeli JABABEKA, paling masyarakat yang mempunyai lahan cukup luas yang bisa menikmatinya akibat gusuran tanah, tapi masyarakat yang lahannya kurang dari satu hektar, plafon harga segitu tidak memberikan kontribusi yang berarti apalagi bagi tidak punya lahan sama sekali.
Tapi kini setelah dibebaskan oleh JABABEKA, suasana kampung jadi berobah total, dalam arti desainnya tidak teratur, ditandai jalan-jalan semakin menyempit, gang-gang masuk juga demikian bahkan cenderung jika dibolehkan yang namanya jalan desa bisa dikalim sebagai halaman/lahan mereka, lampu penerangan jalan sudah tidak sesuai dengan konsep tata ruang kampung, saluran-saluran air tidak berujung pangkal, walhasil, pada pokoknya potret kampung saya sudah tidak karuan lagi, dan masyarakat sepertinya merelakan hidup harus berdesak-desakan, sehingga hendak memasuki gang yang sama harus saling bergantian karena harus mengantri, akhirnya di setiap kampung bermunculan istilah gang senggol . Mungkin Thomas Robert Maltus - seorang ahli demografi - yang memperkenalkan teorinya dengan istilah deret ukur dan deret hitung, akan tercengang melihat kondisi kampung saya, karena tidak sesuai dengan gagasan (teori) yang pernah dipopulerkannya itu, dan menurut saya, agaknya Thomas Robert Malthus harus mengambil sample kembali yakni turun ke kawasan industri ini meneliti faktor-faktor penyebabnya, pada gilirannya menggelontorkan kembali teori-teorinya yang baru.
Bagi masyarakat, yang penting dua leter dan dapur bisa ngebul, dampak yang ditimbulkan setelah adanya industri terutama terhadap kesehatan tidak begitu penting dan bahkan bukan urusannya, karena masyarakat sudah menganut gaya hidup individualistik dan materialistik. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh the founding father - para leluhurnya ? yang dahulu sudah dikesampingkan dengan alasan sudah bukan jamannya lagi. Jadi menurut sudah terjadi pergeseran nilai-nilai yakni nilai-nilai kegotongroyongan menjadi nafsi-nafsi (yang penting gua bisa makan) orang lain peduli amat, amat aja gak peduli ama gua. Paradigma berfikir seperti ini menurut saya sangat memprihatinkan sekali, karena masyarakat Jepang saja yang menjadi motor penggerak industri moderen, masyarakatnya tetap mempertahankan nilai-nilai lelehurnya bahkan sangat kuat mempertahankannya. Lha, ini masyarakat Bekasi, baru ada industri belum lagi menguasai teknologinya, sudah melupakan nilai-nilai leluhurnya. Seharusnya masyarakat boleh berfikir interlokal untuk merespons perkembangan, akan tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal untuk mempertahankan jati dirinya.
Paradigma masyarakat yang cenderung telah meninggalkan dan menanggalkan nilai-nilai lokal, sangat berpotensi kepada hal-hal yang bersifat a historis sehingga sense of crisis dan sence of responsisbility terhadap kampungnya sendiri menjadi mandul. Hal inilah menurut saya menjadikan kampung ini tidak tertata lingkungannya, baik lingkungan sekitar maupun lingkungan moralnya.
Dampak yang terjadi akibat kehadiran industri yang sangat penting bagi msyarakat adalah masalah kesehatan. Sebab kesehatan merupakan modal yang sangat krusial bagi setiap insan. Badan yang sakit, akan mempengaruhi dan menurunkan seluruh aktifitas manusia, dan seluruh karya / kerja yang dihasilkan akan menjadi tidak maksimal. Jadi kalau menyadari betapa pentingnya arti kesehatan bagi manusia, maka manusia akan tersadar selanjutnya berusaha agar badan tetap sehat. Oleh karena itu, hanya beberapa kalangan industriawan yang peduli terhadap lingkungan di kampung saya sebut saja misalnya PT. SHOWA, PT. SAMSUNG, dan PT. USC. Sementara pe-te ? pe-te lain yang berada di lingkungan saya yang katanya berjumlah 225 pe-te tidak mempunyai kepedulian sama sekali. Bentuk kepedulian pe-te pe-te di atas, adalah melakukan fogging (penyemprotan nyamuk) untuk mencegah timbulnya penyakit demam berdarah (DBD) akibat sengatan nyamuk eids egypti, penyelenggaraan posyandu, menyalurkan bantuan ke sekolah-sekolah, dan beberapa item kerja sama dengan pola kemitraan dengan pihak desa setempat (desa saya HARJA MEKAR, CIKARANG UTARA), yang saya tidak ketahui dan yang tahu adalah Kepala Desa-nya. Namun belakangan, jalinan kerja sama yang sudah bagus itu tidak muncul lagi action-nya. Saya tidak tidak tahu penyebabnya, padahal warga sekitar yang sudah terjangkit penyakit DBD, satu demi satu warga dilarikan ke rumah sakit terdekat yang tentunya sesuai dengan kemampuan kocek mereka sendiri, dan ternyata biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan harus merogoh kocek yang lebih dalam.
Di tengah jeritan masyarakat akibat biaya berobat cukup tinggi, belum lagi pelayanan pihak rumah sakit yang kurang menunjukan sikap familiar terhadap pasien dan pengunjungnya. Syukurlah ada dukun cilik bernama: PONARI yang berdomisili di dusun kecil JOMBANG, menjadi pilihan utama berobat bagi masyarakat Indonesia. Karena biaya berobat di rumah sakit cukup membebani masyarakat khususnya yang tidak mampu. Apapun kritikan bahkan mungkin hujatan yang dialamatkan ke dukun cilik itu, saya menganggap bahwa yang penting pasien menjadi sehat dengan biaya murah dan terjangkau.



Senin, 27 April 2009

my family

this my family ini the mosque kumah emas in Depok

KOMNETAR

Saya berharap komentar dan saran dari anda untuk penyempurnaan blog ini, terima kasih wassalam!